
Reporter: Yustri Samallo
Editor: Ihsan Reliubun
LINTAS.COM – Demonstran Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dipukul aparat kepolisian ketika mahasiswa asal Papua ini menggelar aksi damai di kawasan Gong Perdamaian, Jalan Pattimura, Kota Ambon, Maluku, Ahad, 15 Agustus 2021.
Massa aksi mengaku menyesalkan tindakan polisi yang bertindak represif ketika membubarkan unjuk rasa tersebut. “Dia dipukul, ditendang, kemudian telepon genggamnya dirampas,” kata Alvian Aries, salah satu orator ketika ditemui Lintas usai dibubarkan polisi.
Salah satu korban kekerasan polisi yang dimaksud Alvian, yakni Wetub Ilham. Setelah dipukul, Wetub langsung digiring dengan mobil polisi menuju kantor Kepolisian Resort Kota Ambon dan Pulau-pulau Lease.
Mahasiswa Universitas Pattimura asal Papua itu dipukul ketika mengambil gambar jalannya unjuk rasa. Menurut Alvian, pemukulan dan pembubaran paksa demonstran oleh pihak kepolisian itu tak manusiawi. Alvian mengatakan tindakan kekerasan kepada pedemo tidak didahului peringatan.
Pemukulan dilakukan oleh polisi ketika para pedemo baru memulai unjuk rasa. “Moderator baru buka aksi, katong langsung didekati polisi,” tutur Alvian, alumnus Fakultas Hukum Universitas Pattimura itu. “Masa aksi langsung ditendang dan dipukul.”
Senada disampaikan Fijai Jaban. Fijai, yang juga disasar bogem aparat itu menilai tindakan represif polisi melanggar hukum. Sesuai ketentuan Pasal 30 ayat 4 Undang-Undang 1945, kata dia, polisi bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat.
Dari pantauan Lintas, sejumlah mahasiswa asal Papua berjalan kaki dari Pantai Losari menuju Gong Perdamaian dalam pengawasan polisi. Tak lama setelah orasi dimulai, pukulan dan tendangan diarahkan ke pengunjuk rasa. Kekerasan tersebut mengakhiri unjuk rasa memperingati Perjanjian New York yang digelar setiap 15 Agustus.
Terkait tindakan represif kepada massa aksi, Kepala Polresta Komisaris Besar Leo Surya Nugraha Simatupang belum mengkonfirmasi pesan Lintas. “Nanti informasinya dari Kepala Satuan Intelkam (Intelijen dan Keamanan),” kata Leo melalui pesan WhatsApp.
Lintas juga megirim pesan serupa kepada Kepala Satuan Intelkam Ajun Komisaris Polisi Frangky Tupan pukul 21.24 WIT. Namun pesan tersebut tidak direspons Franky.
Dalam pantauan ini, sejumlah aparat kepolisian menginjak badan salah seorang pedemo ketika terjatuh di aspal. Melihat aksi tersebut, pedemo lain langsung memeluk kaki polisi dan menarik rekan mereka dari aksi brutal tersebut.
Pemukulan itu mengakibatkan pecah di bagian mulut, pelipis, hidung, serta lebam di bagian punggung dan dada para pedemo. Aksi brutal tersebut mengakibatkan salah satu perempuan dari pedemo langsung pingsan. “Teman perempuan ini ditendang di punggung langsung pingsan,” ujar Alvian.
Untuk menghindari kekerasan aparat kepolisian yang mengawasi unjuk rasa tersebut, demonstran berlari menuju warung makan milik warga yang berada tak jauh dari Gong Perdamaian. Sekitar 30 menit menempati warung tersebut, massa menuju kantor Polresta menuntut polisi bebaskan Wetub. “Bebaskan kawan kami… bebaskan kawan kami!”
Unjuk rasa FRI-WP dan AMP berlangsung pukul 15.00 WIT itu bertajuk “59 Tahun New York Agreement Ilegal dan Lawan Rasisme di Tanah Papua”. Perjanjian New York, Alvian berujar, rutin dilakukan dua hari menjelang ulang tahun Republik Indonesia.
M. Sofyan Hatapayo
Leave a Reply